NGANJUK, iNewsNganjuk.id - Dusun Ngrajek, Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk, sejak dahulu dikenal sebagai pusatnya para penari wanita berparas cantik.
Penduduk setempat biasa menyebutnya waranggono atau ledhek, penari seni tradisional tayub. Di dusun ini pula, terdapat sebuah padepokan dan punden keramat, bernama Punden Mbah Ageng.
Setiap tahunnya, pada Jumat pahing Bulan Dzulhijjah, menjelang Bulan Suro/Muharram, dijadikan tempat meluluskan atau wisuda para waranggono.
Tahun ini, tepatnya Jumat (30/6/2023), Wisuda Waranggono kembali digelar di punden dusun setempat.
Kepala Desa (Kades) Sambirejo Budi Imam Sugiarto mengatakan, tradisi wisuda ini sebagai simbol bahwa waranggono lulus dan siap menerima job memberikan hiburan kepada masyarakat.
"Ada 10 waranggono yang diwisuda. Sebelum diwisuda, mereka menuju Punden Mbah Ageng untuk mempersiapkan diri dalam prosesi," ujar Budi.
Budi memimpin langsung prosesi wisuda , yang diawali dengan menyiramkan air dari sumber Sedudo, Gunung Wilis, ke kepala masing-masing waranggono.
Selanjutnya, para waranggono meminum dan merobek daun waru, sebagai bukti kecintaannya kepada seni budaya tayub.
Kades sebagai pimpinan ritual lalu menancapkan "sunduk mentul" ke kepala waranggono, sebagai simbol bahwa mereka siap menjalankan tugasnya sebagai waranggono sejati.
"Sumpah dan janji waranggono dibacakan dan dikuti 10 waranggono yang baru di wisuda," ujar Budi.
Usai diwisuda, para warangggono ini juga mendapat pengalungan sampur oleh pejabat Dinas Porabudpar Nganjuk, Camat dan Forpimcam Tanjunganom hingga kades sendiri.
Kesepuluh waranggono baru ini didampingi waranggono senior lalu menari berputar mengelilingi sumur Mbah Ageng, dengan diiringi 10 gending yang wajib dilantunkan
"Senior waranggono menggandeng juniornya dengan lawe. Artinya para senior akan menuntun untuk menjadi waranggono sejati," tukas Kades Budi.
Dwi Retno Wulan, salah satu waranggono yang baru diwisuda mengaku lega dan bahagia. Karena, ia kini sudah bisa menerima job dan pentas di panggung.
Kepala Dinas Porabudpar Nganjuk Sri Handariningsih mengatakan, wisuda ini setiap tahun terus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, sebagai upaya untuk melestarikan budaya tradisional.
Pihaknya juga selalu berkolaborasi, untuk mengangkat seni tayub ke kancah nasional.
Menurut sejarah, tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad ke XI. Saat itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Tayub telah ditampilkan dalam acara penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur pada abad XII.
Keraton Jenggala kemudian menetapkan tayub sebagai tari adat kerajaan dan mewajibkan permaisuri raja menari ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.
Editor : Agus suprianto