Film Dokumenter Road to Resilience dan Buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah

Surabaya, iNewsNganjuk.id – Kepedulian terhadap nasib perempuan dan anak-anak Indonesia yang masih terjebak di kamp pengungsian Suriah mendorong akademisi dan peneliti Dr. Noor Huda Ismail menyusun buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah. Buku ini diluncurkan bersamaan dengan film dokumenter Road to Resilience di Jakarta pada akhir Februari 2025, kemudian dibawa dalam rangkaian pemutaran dan diskusi ke empat kota: Bandung, Lampung, Surabaya, dan Semarang.
Di Surabaya, pemutaran film dan bedah buku menjadi bagian dari Festival Sinema Kita (FSK) yang berlangsung di Balai Pemuda pada Minggu (11/5). Acara ini dihadiri oleh Noor Huda Ismail, sutradara film Road to Resilience Ridho Dwi Ristiyanto, dan tokoh utama film, Febri Ramdani.
Noor Huda menyatakan, baik buku maupun film bertujuan membuka mata publik terhadap realitas ratusan WNI—terutama perempuan dan anak—yang masih tertahan di kamp pengungsian di Suriah. “Ini bukan tentang siapa benar atau salah, melainkan tentang kemanusiaan. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?” ujarnya.
Penelitian Noor Huda menunjukkan, banyak dari WNI tersebut berasal dari Jawa Timur. Karena itu, wilayah ini menjadi fokus utama diskusi. Menurutnya, banyak yang terjebak konflik karena pengaruh media sosial sejak 2014, dan kini mereka termasuk anak-anak yang lahir di Suriah perlu diselamatkan.
Ia juga menggali lebih dalam dengan mewawancarai kelompok yang terlibat dalam konflik seperti Jamaah Islamiyah dan JAD. Dengan menyampaikan narasi melalui festival seperti FSK, Noor Huda berharap dapat mendorong kebijakan dan solusi nyata, terutama dengan pendekatan 5R: repatriasi, relokasi, rehabilitasi, reintegrasi, dan resiliensi.
Kisah Febri dalam Film Road to Resilience
Film dokumenter Road to Resilience mengangkat kisah nyata Febri, remaja Indonesia yang sempat tergiur propaganda ISIS dan berangkat ke Suriah. Ia tinggal di sana selama hampir 300 hari demi bertemu sang ibu. Namun sekembalinya ke Indonesia, ia menghadapi tantangan baru stigma dan penolakan dari masyarakat.
“Saya sempat mengisolasi diri hampir setahun, takut keluarga ikut terdampak stigma,” ungkap Febri. Ia menjelaskan bahwa kepergiannya karena rasa rindu dan ingin berbakti pada ibunya yang sudah lebih dulu berada di Suriah.
Setelah dievakuasi ke Indonesia pada 2017, Febri dan keluarganya menjalani proses panjang rehabilitasi, termasuk pelatihan dan interogasi dari BNPT dan Densus 88. Kini, mereka menata ulang hidup dari nol di Depok. Febri bahkan berhasil menyelesaikan studi sarjana di Universitas Pamulang.
Produser film, Ani Ema Susanti—pemenang Piala Citra 2011 untuk film documenter menyatakan produksi film ini memakan waktu tujuh tahun. “Kami mendokumentasikan perjuangan repatriasi Febri dan keluarga dari kamp pengungsian sampai kembali ke Indonesia,” jelasnya.
Film berdurasi 37 menit ini menginspirasi banyak pihak, menyoroti pentingnya peran orang tua dalam mendampingi anak, khususnya dalam era digital. Ani berharap Road to Resilience bisa diputar di lebih banyak kota agar semakin banyak orang mendapat pelajaran dari kisah nyata ini.
Editor : Agus suprianto