Enggan Ungkap Anggaran Publik, Diskominfo Nganjuk Dituding Hambat Transparansi

Nganjuk.iNewsNganjuk.id – Sikap tertutup Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Nganjuk dalam menyampaikan besaran anggaran belanja jasa iklan, reklame, film, dan pemotretan untuk tahun anggaran 2025 menuai kritik tajam. Praktisi hukum menilai tindakan ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Informasi terkait anggaran penggunaan dana publik seharusnya bersifat terbuka dan dapat diakses masyarakat secara berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 11 UU KIP. Namun, Diskominfo Nganjuk justru menolak mengungkapkan nilai anggaran tersebut saat dimintai konfirmasi oleh media.
Kepala Bidang Statistik dan Pengelolaan Informasi Publik Diskominfo Nganjuk, Hari Purwanto, berdalih bahwa data anggaran tersebut hanya bisa diakses melalui prosedur resmi permohonan informasi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Dia juga menyebut sejumlah persyaratan administratif, seperti KTP bagi perseorangan dan akta pendirian untuk lembaga, harus dilampirkan dalam permohonan.
"Permohonan harus melampirkan identitas. Jika atas nama pribadi, wajib menyertakan KTP. Jika mewakili lembaga, harus menyertakan akta pendirian yang disahkan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, harus mencantumkan tujuan dari permohonan informasi,” jelasnya
Namun, ketika ditanya apakah prosedur itu juga berlaku bagi wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik, Hari enggan memberikan jawaban. Sikap bungkam tersebut semakin menambah tanda tanya publik terhadap komitmen Diskominfo dalam menjalankan prinsip transparansi.
Menanggapi hal itu, praktisi hukum Anang Hartoyo menegaskan bahwa tindakan Diskominfo Nganjuk bertentangan dengan prinsip dasar keterbukaan informasi. Dia menyebut bahwa dalih birokratis semacam itu melemahkan akses publik terhadap informasi yang seharusnya tersedia setiap saat.
“Informasi tentang penggunaan anggaran yang berasal dari uang negara bukanlah rahasia. Menutup-nutupi justru menimbulkan kecurigaan dan membuka peluang penyimpangan,” tegasnya, Kamis (22/5).
Anang juga mengingatkan bahwa pembatasan informasi kepada media berpotensi melanggar Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengancam sanksi pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik.
Advokat muda tersebut menilai bahwa birokrasi daerah seharusnya menjadi pelopor keterbukaan, bukan sebaliknya menjadi penghambat transparansi.
"Ketika uang publik dikelola dengan benar, tidak seharusnya ada rasa takut untuk dibuka. Menyembunyikan informasi publik adalah bentuk pengingkaran terhadap demokrasi dan akuntabilitas," tambahnya.
Desakan agar Diskominfo Nganjuk mengubah sikap dan membuka data anggaran secara transparan kini menguat. Masyarakat berharap praktik birokrasi yang tertutup tak lagi menjadi penghalang partisipasi publik dalam pengawasan penggunaan keuangan daerah.
Editor : Agus suprianto