NGANJUK, iNewsNganjuk.id- Kejadian yang mengejutkan publik menjelang Pilkada Nganjuk 2024 adalah berubahnya surat rekomendasi dari DPP Partai Golkar yang pada awalnya diberikan kepada pasangan calon Bupati (Cabup) dan Wakil Bupati (Cawabup) Ita Triwibawati-Zuli Rantauwati. Secara tiba-tiba, rekomendasi tersebut berpindah kepada pasangan calon lain, yaitu Muhibbin Nur-Aushaf Fajr. Peristiwa ini menuai banyak kritik, terutama dari mantan Ketua KPU Nganjuk dan jurnalis senior, Juwahir, yang menyebutnya sebagai tindakan yang jauh dari etika dan moral.
Menurut Juwahir, Pilkada merupakan salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi yang seharusnya dijalankan dengan mengutamakan nilai-nilai etika dan moralitas. "Kejadian berpindahnya rekomendasi Partai Golkar ini jelas menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut," ujar Juwahir pada Minggu (25/8/2024). Ia menegaskan bahwa perubahan mendadak dalam rekomendasi partai ini mencederai kepercayaan publik, mengingat keputusan semacam itu semestinya diambil secara kolektif oleh organisasi, bukan berdasarkan kehendak individu tertentu.
Pergeseran surat rekomendasi ini tak hanya memicu keraguan masyarakat terhadap keputusan partai, tetapi juga menimbulkan simpati yang semakin besar terhadap Bunda Ita dan Mbak Zuli, yang dianggap sebagai korban dari tindakan ini. Juwahir menilai bahwa langkah ini mencerminkan arogansi dari pihak yang berusaha merebut rekomendasi tersebut. Menurutnya, arogansi ini biasanya tidak disukai oleh masyarakat, dan justru bisa menjadi bumerang bagi pihak yang melakukannya.
Juwahir mengingatkan bahwa sejarah politik sering kali menunjukkan bahwa pihak yang teraniaya atau dizalimi cenderung mendapatkan simpati publik yang kuat. "Arogansi dalam politik, baik itu di tingkat calon presiden, gubernur, atau bupati/walikota, kerap kali menjadi bumerang. Mereka yang dizalimi biasanya justru mendapat dukungan masyarakat dan pada akhirnya bisa memenangkan pertarungan politik," tambah Juwahir.
Lebih jauh, Juwahir juga menyoroti bahaya dari sifat arogan jika dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin yang bertindak secara arogan, tanpa mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak, cenderung membuat kebijakan yang merugikan dan berpotensi menimbulkan kekacauan. "Bayangkan jika seorang calon yang nantinya menjadi pejabat publik membuat kebijakan secara arogan. Ini tidak hanya merugikan masyarakat luas, tetapi juga bisa menyebabkan instabilitas sosial dan politik," pungkasnya.
Peristiwa ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana proses politik harus dijalankan dengan mengedepankan keadilan, etika, dan transparansi. Dukungan yang terus mengalir kepada Bunda Ita dan Mbak Zuli menunjukkan bahwa masyarakat lebih menghargai pemimpin yang merakyat dan bersikap bijaksana, dibandingkan dengan mereka yang memaksakan kehendak dengan cara-cara yang tidak etis. Pada akhirnya, yang terpenting dalam demokrasi adalah bagaimana seorang pemimpin dapat mempertahankan integritas dan kepercayaan publik.
Editor : Agus suprianto
Artikel Terkait