Kediri.iNewsNganjuk.id - Di tengah rerimbunan pepohonan di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, berdiri sebuah bangunan kuna yang menjadi saksi bisu babak akhir kejayaan Majapahit. Candi Tegawangi, begitu masyarakat mengenalnya, diperkirakan dibangun pada abad ke-14 atas perintah Raja Hayam Wuruk.
Menurut Sukadi, pegiat sejarah asal Nganjuk yang mengunjungi lokasi bersama media ini, candi ini didirikan sebagai tempat pendarmaan Bhre Matahun, sepupu Hayam Wuruk yang dikenal sebagai Raja Watsari.
"Kitab Pararaton mencatat bahwa Bhre Matahun wafat pada tahun 1310 Saka atau 1388 Masehi, dan didarmakan di tempat ini yang kala itu dikenal sebagai Kusumapura," terangnya.
Namun, pembangunan Candi Tegawangi tidak pernah rampung. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada 1389, Majapahit dilanda konflik internal. Perang saudara antara Wikramawardhana, menantu raja, dan Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir, yang dikenal sebagai Perang Paregreg, memecah stabilitas kerajaan.
“Diduga besar karena konflik inilah pembangunan candi terhenti. Candi ini akhirnya mangkrak,” imbuh Sukadi.
Candi Tegawangi menyimpan cerita klasik dalam bentuk relief. Relief yang mengelilingi dinding candi memuat kisah Sudamala, yakni kisah spiritual ruwatan Sadewa, putra bungsu Pandawa, terhadap Dewi Durga. Kisah ini dibaca secara prasawya, yaitu berlawanan arah jarum jam, sebuah gaya khas dalam pembacaan relief Hindu-Jawa Kuna.
“Relief ini unik karena berhenti di tengah jalan. Bahkan beberapa pilar masih polos, menunjukkan pengerjaan yang tidak selesai,” jelas Sukadi.
Cerita Sudamala yang dipahat menggambarkan perjalanan spiritual Sadewa yang dirasuki Dewa Siwa demi menyucikan Durga dari kutukannya. Sadewa kemudian diberi nama “Sudamala”, yang berarti penghapus dosa. Kisah ditutup dengan pertemuan kembali keluarga Pandawa, simbol dari keharmonisan pasca-cobaan.
Menurut Sukadi, di ujung relief terdapat gambaran visual candi lengkap dengan perwara kecilnya.
"Itu mungkin merupakan gambaran ideal bentuk akhir Candi Tegawangi bila pembangunannya selesai," ujarnya.
Candi Tegawangi dikenal sebagai candi Hindu aliran Syiwa. Hal ini diperkuat oleh penemuan Yoni dan relief Dewa Syiwa yang menaiki lembu Nandi.
“Ini jelas menunjukkan bahwa fungsi utama candi adalah sebagai tempat pemujaan kepada Syiwa,” kata Sukadi.
Selain bangunan utama, terdapat sisa-sisa struktur candi perwara yang belum selesai dibangun. Relief di candi perwara menggambarkan kehidupan masyarakat masa Majapahit, dari aktivitas pertanian hingga pertapaan.
Bagian kaki candi memuat tiga relief Gana di setiap sisinya, makhluk raksasa penyangga bangunan. Di atasnya, terdapat hewan mitologi seperti Garuda dan merak, sebagai simbol spiritual dan perlindungan.
Namun kondisi fisik candi saat ini menunjukkan pernah terjadi kerusakan signifikan. “Tampak reruntuhan di sudut barat daya, terdiri dari balok-balok batu dengan motif tonjolan, hiasan sudut, dan antefik segitiga. Semua ini menunjukkan adanya keruntuhan, meskipun belum diketahui pasti kapan terjadinya,” tambahnya.
Bagi Sukadi, Candi Tegawangi bukan sekadar artefak kuno, melainkan representasi dari dinamika sejarah, kemegahan, konflik, dan transisi.
"Relief yang tidak selesai itu mengajarkan kita bahwa tidak semua warisan sejarah hadir dalam bentuk yang utuh. Tetapi dari ketidaksempurnaan itu, kita bisa menarik pelajaran yang utuh tentang sejarah bangsa ini," pungkasnya.
Editor : Agus suprianto
Artikel Terkait