Di dalam ruang kerjanya, Iptu Sugino mengambil posisi duduk sedekat mungkin dengan Edo. Berhadap-hadapan. Ia lalu pelan-pelan menyentuh pundak kanan remaja itu, sambil memulai percakapan.
"Nak, sebenarnya saya bisa saja langsung memproses laporan ini, karena ini memang tugas saya sebagai polisi. Tapi coba direnungkan lagi. Mereka itu orangtua kandung sampean. Tanpa mereka, sampean tidak mungkin bisa sekolah, bertemu teman-teman, dan tumbuh besar seperti sekarang," ujar Iptu Sugino kepada Edo, sore itu. Nadanya lembut. Tidak memarahi atau menggertak.
Edo diam mendengarkan kata-kata perwira polisi 51 tahun di hadapannya itu. Begitu pula Edi sang kakak, yang duduk di sampingnya.
Hanya saja, belum tampak perubahan di raut wajah Edo. Masih terlihat gurat amarah dan dendam. Hati remaja itu masih keras.
Iptu Sugino lalu mencoba mencairkan suasana, dengan terus mengajak berbicara Edo dan Edi. Ada beberapa tanya-jawab ringan.
Sesekali ia menyelipkan nasihat, tentang kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada kedua orangtua. Wejangan itu memang kerap didengar Iptu Sugino, dari ceramah kiai atau ustadz, di acara pengajian-pengajian yang kerap diikutinya.
Sampailah pada suatu titik, di mana raut muka Edo benar-benar berubah. Tepatnya, ketika Iptu Sugino menceritakan pengalamannya sendiri dengan orangtuanya.
"Bapak saya sudah meninggal dunia Nak," ucap Iptu Sugino, sambil menarik nafas dalam-dalam.
Ia lalu mengungkapkan perasaan terdalamnya yang jarang ditampakkan. Bahwa kini, setiap hari, ia selalu merindukan sosok mendiang orangtuanya itu. Namun sayang, waktu tidak mungkin bisa diulang.
"Andai saja masih ada kesempatan Nak, ingin rasanya saya setiap hari bisa mengunjungi bapak saya. Meminta maaf atas kesalahan-kesalahan saya, membalas jasanya, dan merawatnya," ujar Iptu Sugino.
Mendengar itu, Edo langsung luluh hatinya. Matanya yang semula kemerah-merahan menahan emosi menjadi berkaca-kaca. Sedetik kemudian, ia langsung meraih tangan Iptu Sugino sambil meminta maaf. Kakaknya ikut menangis.
Keduanya lalu berdiri bersamaan. Memohon agar segera dipertemukan lagi dengan kedua orangtua mereka.
Begitu melihat kedua orangtua mereka duduk bersebelahan di kursi panjang, di ruangan sebelah, Edo dan Edi langsung jatuh bersimpuh di hadapan mereka. Sayup terdengar ucapan permohonan maaf dari mulut Edo, diiringi isak tangis. Ia benar-benar sudah menyesal.
Di belakang mereka, Iptu Sugino merasakan dadanya seperti meluap. Ia ikut larut dalam suasana haru itu.
"Setelahnya saya merasa lega. Plong. Momen berharga seperti itu tidak bisa digantikan oleh apapun," ucap Iptu Sugino.
Di hari-hari berikutnya, setelah sore yang haru itu, Iptu Sugino beberapa kali masih mengunjungi rumah keluarga Edo. Ia ingin memastikan langsung, hubungan baik antar anak dan orangtua di keluarga ini terus terjaga.
Bersama Bhabinkamtibmas, Babinsa dan perangkat desa tempat tinggal Edo, Iptu Sugino juga terus melakukan pendampingan kepada remaja itu, agar tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Kepada iNewsNganjuk.id, Senin (12/6/2023), Parmono, 50, seorang takmir masjid di desa setempat, menyebut mulai ada perubahan dari tabiat remaja tersebut. Parmono masih berhubungan kerabat dengan Edo dan rumah mereka berdekatan.
Setidaknya, kata Parmono, Edo sudah tidak lagi melawan atau melakukan tindakan yang melukai hati kedua orangtuanya.
"Alhamdulillah, terima kasih Bapak Polisi yang sudah mengetuk hati anak kami. Ini menjadi pelajaran berharga untuk kami semua di desa ini," ujar Parmono.
Editor : Agus suprianto
Artikel Terkait