6. Fahombo, Pulau Nias
Masyarakat di Pulau Nias Selatan mempraktikkan tradisi unik yang dikenal sebagai Fahombo atau lebih dikenal dengan istilah lompat batu. Ritual ini khusus dilakukan oleh para laki-laki, terutama yang berasal dari Teluk Dalam, dengan melompati batu setinggi sekitar dua meter dan tebal 40 cm.
Tradisi ini berakar sejak zaman dahulu karena keahlian melompati batu dianggap penting. Pada masa lalu, pemukiman warga dikelilingi oleh batu sebagai bentuk pertahanan, sehingga keterampilan melompat batu menjadi suatu keharusan.
Tidak semua laki-laki mampu melompati batu tersebut. Mereka yang berhasil dianggap telah dewasa dan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Terkadang, tradisi ini juga digunakan untuk menilai kematangan seseorang dalam konteks pernikahan.
7. Tradisi Adu Betis, Sulawesi Selatan
Untuk menyimpulkan masa panen, masyarakat Sulawesi Selatan menggelar tradisi adu betis atau mallanca.
Tradisi ini, yang juga merupakan ungkapan rasa syukur, umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Bugis, Makassar, dan Toraja. Sebelum dimulainya tradisi, dilangsungkan acara makan besar.
Setelahnya, peserta dibagi menjadi dua tim, masing-masing terdiri dari dua anggota. Prosesnya melibatkan upaya dari setiap tim untuk menjaga agar tidak terjatuh ketika betis mereka dihantam oleh tim lawan. Permainan menarik ini berlangsung dalam lingkaran besar dan memakan waktu yang cukup lama, yakni selama empat jam.
8. Tradisi Kebo-keboan, Banyuwangi
Kebo-keboan, sebuah tradisi yang sudah berlangsung selama 300 tahun atau sejak abad ke-18. Meskipun disebut kebo-keboan, namun tradisi ini tidak melibatkan hewan kerbau, melainkan melibatkan manusia yang berdandan menyerupai kerbau.
Ritual ini dilakukan setiap awal bulan Suro sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang melimpah, serta sebagai doa untuk mendapatkan kelimpahan panen pada tahun mendatang. Awal tradisi ditandai dengan bersantap makanan di sepanjang jalanan desa.
Selanjutnya, prosesi diarahkan oleh tiga puluh orang yang berpakaian seperti kerbau, mengelilingi empat penjuru desa di bawah bimbingan tokoh adat. Sebagai upaya menolak bala, sesaji disiapkan di setiap penjuru desa.
Editor : Meita Nila Sari